Sebuah Refleksi
Oleh:
H. Nur Alam, S.E., M. Si.
Gubernur Sulawesi Tenggara 2008-2013 dan 2013-2018
Pada Minggu kedua bulan Juni tahun 2021 saya dikejutkan oleh pemberitaan tentang penggeledahan yang dilakukan oleh Penyidik dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra di Kantor Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kendari. Penggeledahan itu terkait penyidikan perkara tambang yang dilakukan oleh PT. Toshida di Kabupaten Kolaka. Di sana Penyidik menemukan dokumen dan surat-surat yang ada keterkaitan dengan penyidikan PT. Toshida yang diduga merugikan negara sebesar Rp. 190 miliar. Tiga hari kemudian, Kadis ESDM dan Kabid Minerba Sultra dan dua orang petinggi PT. Toshida (Dirut dan General Manager PT. Toshida) ditetapkan sebagai tersangka.
Selain kaget, pada saat yang sama ingatan saya terbang pada peristiwa yang menimpa saya beberapa tahun lalu, yang membuat saya harus menghuni Lapas Sukamiskin. Pokok perkara yang dialamatkan adalah, saya telah melakukan penyalahgunaan kewenangan sebagai Gubernur dalam penerbitan Izin Usaha Tambang. Padahal, bila dianalisa secara mendalam, di dalam aturan Perda, kewenangan teknis dalam menerbitkan IUP ada di tangan Dinas Pertambangan (ESDM). Tapi yang terjadi, saya menghadapi sangkaan itu sendirian dan dijadikan tersangka tunggal.
Saya melihat, yang dilakukan oleh Kejati Sultra kali ini adalah kerja audit investigasi khusus yang tidak main-main. Penggeledahan yang dilakukan pada Senin, 14 Juni 2021 tersebut dipimpin langsung oleh Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sultra, Setiyawan Nur Chaliq, dengan Anggota Tim Penyidik sebanyak 9 orang. Melihat semua itu dada saya berdebar oleh harapan baru, bahwa kali ini penanganan perkara perizinan tambang dilakukan melalui prosedur yang sistematis dan benar.
Namun, Kejati Sultra mestinya melakukan pengusutan secara menyeluruh (tidak hanya menggeledah kantor Kepala Dinas ESDM Provinsi, tapi juga melakukan penggeledahan ke Kantor Kepala Dinas Kabupaten). Sebab dari Kabupatenlah semua kekacauan berawal (semua IUP dikeluarkan oleh Kantor Dinas Kabupaten/Kota). Baru pada tahun 2016-2017 ada perubahan Undang-Undang yang isinya adalah, kewenangan mengeluarkan IUP diserahkan ke Provinsi. Tapi sebenarnya, di tahun 2016-2017 itu sudah tidak ada lagi lokasi penambangan. Artinya, meski lahir kewenangan baru untuk provinsi, tapi lokasi (tambangnya)
sudah habis. Sudah lebih banyak IUP daripada luas wilayah. Kantor Dinas ESDM Provinsi hanya melakukan pekerjaan meregistrasi ulang dan mengeluarkan rekomendasi CnC.
Kasipenkum Kejati Sultra, Doddy, MH menuturkan bahwa sejak tahun 2010 PT. Toshida menambang berdasarkan IUP di Kecamatan Tanggetada, Kabupaten Kolaka. Berarti, pada 2010 itu yang menerbitkan IUP PT. Toshida adalah Kabupaten (bukan Provinsi). Dan, dugaan korupsi yang dilakukan oleh PT. Toshida adalah tidak membayarkan kewajiban kepada negara seperti membayarkan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penggunaan Kawasan Hutan atau PNBP-PKH, abai membayar royalti, membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Corporate Social Responsibility (CSR) dan dana program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
Carut Marut IUP
Tahun 2008 (awal saya menjadi Gubernur), jumlah IUP di Sultra sebanyak 275. Namun, saat kewenangan berpindah ke pemerintah provinsi sesuai amanah UU 23 tahun 2014, jumlah IUP yang diserahkan pemerintah Kabupaten/Kota di tahun 2016 telah mencapai 528 IUP. Berarti, jumlah IUP meningkat tajam. Total luas wilayah IUP mencapai hampir 3 kali melebihi luas potensi kawasan yang mengandung deposit nikel di Sultra yakni 457.075 ha. Selisih antara luas potensi deposit nikel dengan banyaknya IUP yang dikeluarkan tentu menimbulkan berbagai pertanyaan terhadap motif penerbitan IUP yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pada November 2013 saya membuat laporan yang isinya adalah, saya membuka semua persoalan menyangkut pertambangan dari hulu sampai hilir. Dari mulai proses persiapan izin sampai dengan penyimpangan di perpajakan, soal eksploitasi, penyimpangan di angkutan, di pelabuhan, dan lain-lain.
Selanjutnya, saya melakukan upaya untuk mengatasi carut marut penerbitan IUP dan pengelolaan lahan pertambangan. Salah satunya adalah dengan membentuk Tim Terpadu Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara melalui Surat Keputusan Gubernur No. 661 Tahun 2013. Tujuannya adalah untuk mengetahui kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangan di bidang pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup, ketenagakerjaan, keuangan, dan perhubungan. Selain itu, juga untuk mengetahui aspek legalitas pemegang IUP, efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap perusahaan pemegang IUP, dan mencegah terjadinya kerugian negara melalui ketaatan dalam membayar kewajibannya bagi negara.
Tim Terpadu terdiri dari unsur pemerintahan dan penegak hukum yakni Gubernur, Kapolda, Kejati, Komandan Korem, Kepala BIN, jajaran Sekretariat Pemerintah, SKPD terkait, Direktur Reserse dan Kriminal Khusus Polda Sultra, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sultra, Pasi Intel Korem, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Kendari, Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, dan Kepala BPKH Wilayah XXII Kendari. Hal tersebut sejalan dengan Kebijakan Pemerintah sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang melarang ekspor bahan mentah mulai tanggal 12 Januari 2014, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012.
Berdasarkan temuan Tim Terpadu, ada banyak aktivitas pertambangan yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan. Dari 528 IUP yang diterbitkan, 456 IUP berada di Kawasan hutan, dan hanya 34 IUP yang memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Kondisi ini berarti sebanyak 422 IUP belum mendapat IPPKH namun tetap melakukan penambangan dan hal itu ternyata dibiarkan saja oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Mengapa terjadi demikian? Patut diduga ada “main mata” antara pengusaha tambang dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Bahkan dalam beberapa hal Kementeran ESDM bisa jadi terlibat juga, seperti pelaksanaan pelelangan di Kabupaten Kolaka yang saat itu belum ada peraturan perundangan yang mengaturnya.
Penyimpangan juga ditemukan menyangkut administrasi dan legalitas yang meliputi prosedur perizinan yang tidak dipatuhi, tahapan kegiatan tidak berjalan sesuai ketentuan, termasuk pengurusan IPPKH sebelum dilakukan penambangan ore nikel bahkan setelah pasca tambang tidak dilakukan reklamasi.
Belum lagi masalah tumpang tindih wilayah pertambangan, dan juga tidak adanya Rencana Kerja, Anggaran Biaya dan Laporan triwulan serta laporan tahunan. Selain itu, beberapa perusahaan mengajukan izin ekspor menggunakan legalitas IUP lain, karena dia tidak memiliki CnC dan tidak ada persetujuan ekspor.
Ditemukan pula adanya pelanggaran keuangan yang dilakukan oleh perusahaan tambang sehingga menyebabkan kerugian negara akibat tidak terbayarnya kewajiban para pemegang IUP kepada negara yang bersumber dari pajak alat berat, PBB Pertambangan, dan royalti dan iuran tetap (Landrent).
Kerja besar Kejati Sultra kali ini pasti berangkat dari kian maraknya penambang illegal yang beroperasi di Sultra. Mereka mengeruk kekayaan sumber daya alam tanpa legalitas lengkap, sehingga mengakibatkan kerugian di berbagai aspek. Selain itu, ada banyak terjadi penyimpangan di sana. Mulai dari penyimpangan administratif, teknis, dan penyimpangan kewajiban kepada negara seperti regulasi, keuangan negara (royalti, pajak), penyimpangan
di pelabuhan, dan lain-lain. Penyimpangan juga terjadi di wilayah sosial kemasyarakatan, dimana hak-hak adat dan hak-hak masyarakat diabaikan. Banyak masyarakat Sultra yang dirugikan karena ganti rugi lahan hanya memperhitungkan tanaman tumbuh, padahal yang dituju adalah kandungan bahan mineral yang ada di dalamnya, yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Makanya saya juga melakukan upaya pengawasan agar pembodohan masyarakat oleh pihak-pihak yang hanya mau mengambil keuntungan semata tidak terus terjadi.
“Ada kecukupan di dunia untuk kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk keserakahan manusia.”
(Mahatma Gandhi).
Bicara tentang pertambangan illegal, memang bicara tentang persoalan yang sangat kompleks. Praktik yang terjadi di lapangan memang sangat barbar, adu kuat antar kelompok, adu beking, transaksi cost, penyelundupan asset negara, sampai pada maraknya transaksi gelap izin tambang dan izin-izin lain seperti CnC, quota, amdal dan Rkab – semua itu menjadi komoditas yang nilai transaksinya sangat tinggi. Belum lagi kekacauan di seputar pelabuhan angkut atau jeti yang tidak semuanya memiliki izin (izin lokasi dan izin bangunan dan penggunaan). Jalan-jalan nasional untuk masyarakat umum juga banyak yang hancur karena setiap hari dilewati oleh mobil-mobil besar pengangkut tambang.
Sebenarnya masyarakat tahu bahwa selama ini memang terjadi pembiaran oleh instansi terkait, baik di daerah maupun pusat. Maka, menurut saya, tindakan Kejati Sultra merupakan langkah hebat untuk menertibkan pengelolaan sumber daya alam Sultra yang semakin terancam habis. Ancaman besar yang berdampak langsung pada sumber kehidupan, alam dan lingkungan di sana, termasuk juga manusianya.
Dulu, Dinas ESDM hanya digunakan sebatas “alat” untuk menjebak kepala daerah. Makanya, ketika ada izin yang menyalahi aturan yang diperkarakan dan dihukum adalah kepala daerahnya (bukan Kepala Dinas ESDM-nya). Dan itulah yang menimpa saya selaku Gubernur yang dijadikan tersangka dan dihukum, sedangkan Kepala Dinas ESDM dan jajarannya tidak ada yang terbawa. Mereka hanya dijadikan saksi.
Kerugian Jangka Panjang
Saya berharap betul, proses penegakan hukum kali ini benar-benar objektif dan tidak tebang pilih. Sebab, carut marut perizinan pengelolaan pengusahaan tambang di Indonesia, khususnya Sultra sudah sangat kronis dan melibatkan persekongkolan tingkat tinggi di lintas lembaga, dan juga oknum aparat pemerintah, termasuk oknum aparat hukum bersama korporasi.
Masih lekat dalam ingatan, awal tahun 2014 saya mempresentasikan hasil kerja Tim Terpadu kepada UKP4 bentukan Presiden SBY, atas penyimpangan pengusahaan tambang di Sultra. Tapi anehnya, setelah itu justru saya malah diperkarakan, dan dijadikan tersangka tunggal dalam kasus izin pertambangan.
Dalam presentasi itu saya sampaikan bahwa, angka perhitungan perolehan dari asset yang dimiliki Sultra bisa untuk membiayai Indonesia sampai 200 tahun ke depan, dengan asumsi APBN saat itu yang Rp. 1.500 Triliun. Namun sayang, hal-hal yang saya sampaikan itu tidak menjadi fokus pemerintah pusat untuk langsung menertibkan kekacauan yang terjadi di dunia pertambangan di Sultra, agar hasilnya bisa digunakan untuk masa depan Indonesia.
Siapakah yang bisa diharapkan untuk bertindak menyelamatkan Sultra? Mau sampai kapan para “perampok” dibiarkan menguras habis sumber daya alam di sana? Padahal, menyelamatkan Sultra adalah menyelamatkan masa depan Indonesia. Kalau kejahatan ini terus dibiarkan, kerugian pertama adalah mineral nikel akan habis karena tidak terbarukan, kita juga akan kehilangan kesempatan mengembangkan bahan baku menjadi bahan jadi industri strategis seperti baja stainless, baterai litium, dan berbagai industri turunan lainnya yang nilainya puluhan kali lipat dari nilai dasar ore.
Dampak lain lagi adalah, penerimaan negara sangat kecil dengan dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar. Dan efek sosialnya adalah, masyarakat semakin miskin karena lahan pertanian, perkebunan, dan perikanan darat dan laut yang mereka miliki dirampas habis, dan masih ditambah lagi dengan ancaman datangnya bencana alam akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh aktifitas penambangan. Dan cadangan potensi untuk masa depan bangsa dan generasi penerus sudah pasti terkuras habis, karena rusaknya ekosistem akibat tercemarnya darat dan laut oleh kegiatan penambangan yang tidak memenuhi prosedur.
Sejatinya, bumi ini adalah rumah kita bersama. Adalah tanggung jawab umat manusia untuk merawatnya dengan sebaik-baiknya. Maka, mari kita jaga dan rawat bumi Sulawesi Tenggara. Menyelamatkan Sultra adalah Menyelamatkan Indonesia.