Nyaleg Lewat Partai Apa?

76
Nursandy Syam - Manajer Strategi Dan Operasional Jaringan Suara Indonesia (JSI)
Nursandy Syam - Manajer Strategi Dan Operasional Jaringan Suara Indonesia (JSI)

Pemerintah, Komisi II DPR dan pihak penyelenggara Pemilu menyepakati Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) digelar pada 14 Februari 2024.

Kesepakatan itu, melegakan banyak pihak. Tak hanya bagi penyelenggara Pemilu tetapi juga partai politik, para politisi dan praktisi politik ikut merasakannya. Sebab, mereka akan terbantu dalam penyusunan langkah-langkah guna menyongsong kontestasi Pemilu.

Berbicara Pemilu, sudah tentu berbicara Pileg. Membincang Pileg, otomatis membahas tahapan pencalegan. Beberapa hari terakhir, penulis kerap mendengar pernyataan dan pertanyaan seputar pencalegan dari mulut teman-teman yang dijumpai.

“Saya mau nyaleg nanti”.
“Baiknya nyaleg lewat partai politik apa?”, Begitu penuturan yang kerap terdengar di telinga penulis.

Penulis diminta untuk memberi pandangan. Menyampaikan pendapat. Dan memberi petunjuk yang terbaik terhadap sikap dan pilihan politik mereka.

Nyaleg, bukanlah perkara mudah. Tak semudah mengangkat gelas kopi. Banyak hal yang mesti dikorbankan dalam meraih kesuksesan di Pileg. Modal niat tak akan cukup. Bahkan menjadi terpelajar, hartawan dan rupawan belum mampu menggaransi seseorang untuk bisa terpilih.

Bertarung di Pileg membutuhkan banyak persiapan. Dan begitu kompleks. Namun satu hal yang harus, seseorang mesti berpartai politik. Harus bergabung dengan partai politik (parpol). Tak gabung, maka tak nyaleg. Sistem pemilihan legislatif mewajibkan seseorang berpartai politik. Tak ada jalur independen. Sehingga parpol menjadi instrumen utama bagi seseorang yang ingin menjadi calon anggota legislatif (caleg).

Parpol laksana kendaraan yang membantu mengantarkan seseorang ke titik pemberhentian. Parpol ikut menuntun perjalanan seseorang sampai ke tujuan. Parpol berperan penting bagi kiprah politik seseorang. Karena itu, seseorang yang ingin maju pada pemilihan legislatif tak boleh gegabah dan asal-asalan dalam memilih partai politik.

Perlu diketahui, pada Pileg 2019 yang lalu, sebanyak 20 parpol menjadi peserta pemilu. Bersaing memperebutkan 575 kursi di Senayan. Hasilnya, hanya 9 parpol yang lolos ambang batas parlemen (Parliamentary Treshold). Dan berhak mengisi kursi yang tersedia di Senayan. Yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN dan PPP.

Sementara parpol yang tak mampu memenuhi ambang batas parlemen sebanyak 4 persen, harus gigit jari. Sekalipun perhitungan di dapil tertentu, terdapat parpol yang sejatinya meraih kursi. Tapi karena rekapitulasi suara sah secara nasional tidak mencukupi, peluang parpol mendapatkan kursi menjadi tertutup.

Maka suara yang sudah diraih para caleg dari parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen secara otomatis bernasib sia-sia. Tak berarti lagi. Harapan mereka untuk duduk di Senayan, harus kandas. Kecuali para caleg yang bertarung pada level provinsi dan kabupaten/kota nasibnya bisa lebih beruntung sebab ambang batas parlemen tidak berlaku.

Lalu anda mau nyaleg lewat partai politik apa? Apakah partai besar atau partai kecil? Apakah partai lama atau partai baru? ataukah partai yang berada di parlemen atau partai non parlemen?

Pertanyaan-pertanyaan di atas membutuhkan banyak pertimbangan. Maju lewat partai politik manapun memiliki plus minus. Punya kelebihan dan kelemahan masing-masing.

Partai besar, partai yang berada di parlemen tentu unggul dari sisi kemapanan elektoral. Punya basis pemilih yang jelas. Namun biasanya persaingan untuk mendapatkan tempat cukup ketat. Diterima nyaleg saja, sudah syukur. Apalagi bisa dapat nomor urut dan daerah pemilihan (dapil) yang sesuai keinginan, hal itu terasa luar biasa. Namun lain soal, kalau seseorang memiliki privilege (hak istimewa), tentu bisa lebih leluasa mewujudkan keinginan politiknya.

Sementara partai kecil atau partai non parlemen dan partai baru memiliki tingkat kerawanan yang cukup tinggi. Terlebih lagi mesti melalui verifikasi untuk lolos menjadi peserta pemilu. Apakah itu verifikasi faktual dan/atau verifikasi administrasi.

Prospek elektoralnya juga cenderung dipandang kurang menjanjikan. Terlebih diperhadapkan pada parliamentary treshold. Apalagi wacana ambang batas parlemen dari 4 persen menjadi 5 persen terus menguat. Hal ini akan semakin memberatkan kerja-kerja parpol yang berada di luar parlemen. Tantangan meyakinkan masyarakat untuk bergabung di parpol menjadi kian sulit.

Tapi dibalik kekurangan-kekurangan, tentu memiliki kelebihan. Seseorang bisa meraih tempat di parpol tanpa harus saling sikut dengan figur-figur yang lain. Peluang seseorang untuk diterima bergabung lebih terbuka lebar. Bahkan, seseorang yang memiliki kadar ketokohan yang cukup baik, bisa memperoleh keistimewaan tersendiri.

Terlepas dari analisa di atas, sangat mungkin seseorang juga punya preferensi tersendiri dalam menilai parpol. Namun, penting untuk dipahami bahwa parpol hanyalah satu hal dari sekian banyak hal dalam diskursus merintis jalan kemenangan di Pileg. Jadi bukan satu-satunya atau segala-galanya. Banyak faktor ikut mengiringi perjalanan seseorang hingga bisa terpilih pada pemilihan legislatif.

Sukses atau tidaknya seseorang dalam pertarungan di Pileg bukan semata-mata disebabkan oleh penentuan partai politik. Meskipun demikian, pemilihan parpol yang tepat, tetap memiliki urgensi tersendiri untuk dikedepankan.

Jadi, nyaleg lewat partai apa?.
Tahapan pendaftaran anggota DPD, DPR dan DPRD dilaksanakan pada awal bulan Mei tahun 2023. Masih banyak waktu untuk berpikir. Jangan salah pikir. Semoga sukses.

Nursandy Syam
Manajer Strategi Dan Operasional
Jaringan Suara Indonesia (JSI)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here