MULTIKULTURALISME DAN POLITIK IDENTITAS

1800

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam budaya. Keragaman tersebut menjadi wujud kearifan lokal bagi unik Indonesia di dunia. Wujud tersebut mestinya dapat dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan. Unik dari keragaman Indonesia dapat dijumpai pada 300 etnis bangsa, 742 bahasa, 1.368 adat istiadat, ritus, dan perayaan, serta 1.337 tradisi dan ekspresi lisan. Negeri ini juga memiliki beragam etnis semisal Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, dan beberapa lainnya, serta mendapat pengaruhi ideologi yang kuat dari perbagai negara dan agama seperti: India dengan Hindhuisme dan Buddhisme, Cina  dengan Konfusianisme, Arab dengan Islam, negara-negara barat dengan Kristen dan Kapitalisme dan beberapa lainnya. Selayaknya, kalau Indonesia disebut sebagai a multicultural nation-state.  

 Konsep tentang multikultural dapat dipahami sebagai harmonisasi akan komunitas masyarakat yang memiliki keragaman budaya, etnis, bahasa, nilai, dan sejarah dengan melejitimasi konsep nilai akan prinsip kesetaraan dan pengakuan yang kuat. Oleh karena itu, ia menjadi sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kolektif. Dalam kontes ke Indonesia-an, pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang beragam itu dapat dijumpai dalam semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika”. Filosofi ini menunjukan suatu kemauan yang kuat untuk mengakui perbedaan  dengan cara  memelihara kesatuan atas dasar keragaman tersebut. Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan yang menjadi asumsi dasar terhadap paham multikulturalisme. Namun demikian, bagi Kymlicka (2002), multikultural memiliki akar negatif yang mudah berubah menjadi konflik. Konflik yang pernah terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti Ambon, Poso, dan Sampit menjadi indikator dari kerawanan multikutural. Fenomena lainnya adalah mulai berkembangnya berbagai organisasi kemasyarakatan, profesi, dan  agama yang bertindak atas nama kepentingan yang mengarah pada konflik atas nama suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Gerakan 212 bukanlah pengecualian dari indikator negatif dari multikultural.

Fenome 212 bukanlah suatu gerakan sosial yang hanya dipahami sebagai tuntutan murni terhadap perilaku penistaan agama, melainkan sebuah gerakan yang dibangun diatas landasan identitas politik. Bagi Morowitz (1998), politik identitas merupakan praktik politik yang berbasiskan pada identitas kelompok atas dasar etnis ataupun agama dengan fungsi sebagai pembeda. Gaya ini bertujuan untuk mendorong terciptanya solidaritas dan integrasi sosial untuk kelompok tertentu, sehingga tidaklah keliru kalau politik identitas dimaknai sebagai salah satu cikalbakal dari penyangkalan akan multikulturalisme. Dalam jejak-jejak sejarah global politik identitas dapat dijumpai pada wilayah Balkan yang mendorong potensi pergeserah kearah perpecahan. Sebab, politik identitas membuat garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Oleh karena itu, politik identitas dimaknai sebagai politik berbedaan. Hal tersebut sangat kontras dengan multikulturalisme. Konflik antara kelompok etnis Tutsi dan Hutu di Afrika, Bosnia dan Serbia di Balkan. Dua contoh fenomena tersebut memperlihatkan  keterlibatan praktek politik identitas dalam bentuk yang paling brutal dan destruktif yang menghancurkan prinsip-prinsip multikultural.

 Dalam sistem demokrasi di Indonesia, politik identitas dapat berkembang dengan baik dalam sistem demokrasi karena sistem demokrasi memiliki ruang kebebasan berekspresi. Hal tersebut dapat dilihat pada adanya kecenderung praktik politik partai nasional yang berbasiskan agama. Fenomena gerakan 212 lebih tepat jika dimaknai sebagai gerakan politik identitas yang terbukti meresahkan bagi masa depan multikutural Indonesia. Politik identitas merupakan bentuk politik yang sifatnya mundur kebelakang dikarenakan sifatnya yang menyangkal eksistensi Indonesia yang multikulural dimana kemerdekaan dan keharmonisan merupakan perjuangan pengakuan bersama dari keragaman suku, agama, adat-istiadat, sosial budaya, dan bahasa.

La Bania
(Mahasiswa S2 LPDP Unuversitas Airlangga)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here