MENYIBAK ANOMALI KEPATUHAN DAN DISTORSI PRINSIP NETRALITAS ASN DALAM PROYEKSI DAULAT RAKYAT

238

Oleh. Jamal Aslan

Ibarat episode kebangsaan yang sangat urgensif dan menarik, tahun 2024 menjadi titik tolak demokrasi nasional yang menyerap energi bangsa pada porsi yang sangat dominan. Pemilihan Umum (pemilu) diselenggarakan pada bulan Februari sedangkan pada november, publik kembali digiring untuk memasuki helatan demokrasi lokal. Pemilu di tahun ini menjadi segmen loncatan nasional mengingat adanya peralihan pucuk kepemimpinan bangsa yang selama dua priode dipimpin oleh personal yang sama. Pada lembaran lain, Pilkada 2024 menjadi tonggak permulaan pelaksaaan local election secara serentak.

Bak pesta yang megah, hiruk pikuk pilkada memiliki pusarannya sendiri. Dari 37 provinsi, 415 Kabupaten dan 93 kota, tentu memiliki tensinya masing-masing dengan fenomena yang unik dan khas, terlingkup didalamnya segala bentuk dialektika politik lokal yang juga bernada dalam ritme yang cukup pekik. Namun, jika atmosfer kajian analitik hendak mengsegmentasi problematik yang hampir ditemukan dalam setiap perhelatan hajatan demokrasi baik lokal dan nasional, kita akan bertemu dengan paradox keterlibatan ASN secara aktif dan masif. Tidak dalam kapasitasnya sebagai penikmat pesta demokrasi untuk menyalurkan hak pilih tetapi dalam beberapa kasus, ASN turut andil dalam moment suksesi yang terafiliasi pada peserta pemilu/kada tertentu.

Terjerembaknya ASN dalam barisan pengusung kandidat bukan sekedar kabar burung. Sekira 464 kasus yang terdeteksi sebagai pelanggaran netralitas ASN selama Pemilu 2024. Dalam uraian Hendi Purnawan dengan merujuk pada rincian data Komisi Aparatur Sipil Negara tergambarkan bahwa dalam gelanggang Pilkada Tahun 2020, tercatat sebanyak 917 pelanggaran netralitas ASN. Diantaranya, terdapat 484 kasus di mana ASN menunjukkan dukungan terhadap salah satu calon pasangan melalui media sosial. Selain itu, 150 kasus melibatkan kehadiran ASN pada sosialisasi partai politik, 103 kasus berupa upaya pendekatan terhadap partai politik, 110 kasus menunjukkan dukungan langsung terhadap calon tertentu, dan 70 kepala desa juga terlibat dalam mendukung calon tertentu. Gurilan isu ini menjelma menjadi kritik tajam guna menyoal kepatuhan ASN terhadap substansi prinsip netralitas.
Luhurnya prinsip netralitas bahkan diperhadapkan dengan upaya untuk menjamin prosesi suksesi kekuasaan demokratik yang terkemas secara bermartabat, adil, dan partifipatif.

Layaknya pesta demokrasi, semua pihak mestinya berpora, terlibat dengan Bahagia dan tanpa sekat untuk menuangkan hak politiknya, termasuk ASN. Namun, sebagai pihak pengemban fungsi pelayanan public, ASN terhalang oleh sejumlah aturan yang, bahkan geliat pelanggaran prinsip netralitas menjadi sebab munculnya kehendak untuk mencabut hak politik ASN, bukan saja dipilih melainkan juga hak memilih. Ide tersebut tentu memicu simphoni perdebatan, terlebih jika dianalisis dengan menggunakan instrument hak politik Masyarakat sipil yang seakan kontradiktif dengan semangat pendewasaan serta partisipasi konstruktif ASN dalam pemilu/kada. Mengapa frasa pastisipasi konstruktif yang digunakan dalam ulasan ini? Setidaknya argument tersebut disandarkan pada struktur dalil pemikiran paling fundamental dalam menyorot negara hukum yang demoktaris, yakni membangun kesadaran demokrasi berbasis pemenuhan hak.

International Commision of Jurist menisbahkan bahwa terhadap sejumlah hak politik yang harus dijiwai oleh sebuah rule of law yang diantaranya menekankan pada perspektif Civic edication atau Pendidikan kewarganegaraan. Mempertahankan hak pilih ASN tidak saja merupakan bentuk pengakuan hak politik warga negara tetapi juga beririsan dengan strategi untuk meletakan serpihan-serpihak pendewasaan dan kesadaran demokrasi secara tegak lurus dan berkesinambungan pada bangunan kebangsaan kita secara kolektif.

Dalam riuhnya pemilu dan pemilihan, ASN sering dianggap sebagai sosok yang memegang peranan penting serta mampu menggerakkan debit arus politik secara signifikan. Ketika ASN berkontibusi aktif pada panggung politik, ia terjebak dalam pusaran pengaruh dan penyelewengan. Kontaminasi tak terelakan pada Kinerja pelayanan public. Terlebih ketika kekuasaan dipolitisasi demi meraih simpati. Sebab Tergoda oleh janji kekuasaan, banyak ASN yang akhirnya goyah, tertelan dalam lingkaran keberpihakan, menyusuri jalan yang penuh dilema antara tugas mulia dan ambisi kuasa. Disisi lain, public tidak boleh buta dengan fenomena pelanggaran prinsip netralitas.

Bagaimanapun pemilu/kada yang demokratis mesti LUBER JURDIL. Terpisah dan mampu menghempas segala bentuk kecurangan yang dapat menodai lembaran putih daulat rakyat. Agaknya, tudingan bahwa sisipan konflik kepentingan yang menyebabkan prinsip netralitas menjadi tidak bertaji mengawal objektivitas ASN mesti dicacah secara sistematik. Apa yang keliru dalam perumusanya sehingga gelombang distorsi menyelimuti ASN dengan prinsip Netralitasnya?

Substansi Prinsip Nentralitas dan Implementasi Pengaturanya

Menelusuri pemaknaan terhadap netralitas sebaiknya dimulai dengan membuka kotak pandora perihal presepsi frasa tersebut dalam pendekatan grammatical. Arti netralitas terdeteksi melalui kata “neutralis” atau berada ditengah yang diafiliasikan dalam arti tidak berpihak. Kata ini selanjutnya diadopsi dalam Bahasa prancis kuno menjadi “neutralité” sebelum masuk dalam korespondensi Bahasa Indonesia yang terpengaruhi oleh Bahasa Belanda dan Latin. Secara orisinil etimologis, netralitas merupakan elemen sikap yang berdiri di tengah, tak tersandera pengaruh kepentingan, tak terseret oleh arus konflik. ia berhembus tanpa memihak, hadir dengan keadilan yang tak terbelah serta memproteksi secara imbang tanpa berat sebelah.

Dalam beragam ranah politik dan hukum hingga hubungan antar bangsa netralitas adalah laku diam yang menolak condong, sebuah posisi yang memancarkan kesetaraan, menjembatani keadilan di tengah gempuran pertarungan kepentingan. Setiap entitas yang dilekati netralitas, idealnya berartikulasi imparsial. Teguh dalam fungsi dan komitmen menegakanya.

Netralitas dalam perspektif hukum tidak bergeser dari perspektif arti tersebut. Hans Kelsen menyulam konsep ini erat dengan karakteristim rule of law, dimana hukum yang berdiri tegak tanpa peduli siapa yang diuntungkan atau dirugikan menaungi semua pihak dengan payung keadilan secara setara. Sementara itu, John Rawls, menegaskan bahwa netralitas adalah pilar utama untuk membentuk masyarakat yang seimbang. Baginya, pemerintah dan hukum harus menjaga sikap tanpa keberpihakan, memastikan setiap warga mendapatkan hak yang sama dengan polarisasi fairness. Lebih mendalam lagi, A.V. Dicey melukiskan bahwa netralitas adalah dasar dari kedaulatan hukum yang adil, di mana tak satu pun individu atau kelompok berhak melangkahi hukum. Aparat negara dituntut menjalankan tugasnya dengan objektivitas, tanpa goyah oleh hasrat atau desakan politik.

Rumusan demikian juga terjiwai dalam kontuktsi dan konotasi netralitas yang dimuat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal 24 ayat (1) huruf d Undang-Undang tersebut menempatkan “menjaga netralitas” sebagai kewajiban ASN. Masih dalam undang-undang yang sama, netralitas dijelaskan dalam rangkaian redaksi “setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.”. Konkretisasinya dituangkan pada Pasal 9 ayat (2) UU ASN yang menegaskan bahwa Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Pertanyaan lebih lanjut, mengapa ASN wajib berpijak pada asas netralitas? Secara sederhana padanan tersebut diletakan pada upaya pemenuhan fungsi ASN secara objektif. Tunduk, patuh dan konsisten terhadap fungsi utama yang terwakili dalam setiap tindak tanduk profesinya yaitu sebagai pelaksana kebijakan public, pelayan public dan perekat dan pemersatu bangsa. Netralitas dijadikan sebagai rambu untuk memastikan pelayanan public tidak tersusupi tendensi tertentu sehingga menghindarkan kemungkinan kepentingan public dikonversi menjadi komoditas politik.

Dilain sisi, dalam ASN ialah ujung tombak aktivitas public negara sebagai pelaksana pemerintahan yang disematkan wewenang. Tanpa prinsip netralitas akan menyeruak kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dalam implementasi fungsi pemerintahan tersebut. Olehnya, tujuan asas netralitas ialah mengupayakan pemenuhan fungsi ASN secara profesional. Disisi lain, asas netralitas merupakan upaya sistemik untuk memastikan pemilu/kada tidak tergerus oleh perdagangan pengaruh yang dituangkan pelaksanaan kewenangan ASN dalam melaksanakan fungsi jabatanya. Jelas, pada segmen ini fundasi netralitas ialah focus pada pelaksanaan peran dan fungsi ASN, bukan pada aktivitas personalnya sebagai warga negara.

Terdapat zonasi yang berbeda dalam menakar asas netralitas atau dalam artian yang sederhana, asas netralitas tidak melingkupi keseluruhan keberadaan ASN. Jika berkenaan dengan pelaksanaan fungsinya sebagai aparatur negara yang dibubuhi kewenangan, maka ASN wajib netral. Namun, jika berkenaan dengan proposisi haknya sebagai warga negara, ASN harus mendapatkan porsi yang setara. Konsep ini tidak lain untuk mencegah penyanderaan hak sipil bagi ASN yang notabene juga merupakan warga negara yang wajib mendapatkan jaminan pemenuhan hak termasuk hak politiknya.

Paradoks Asas Netralitas ASN dan Hak Politik Warga Negara

Hak politik warga negara termasuk ASN perlu untuk dinalari secara teliti. Pada prosesnya, ASN masih disematkan hak pilih dalam kontestasi pemilu/kada. Dalam perspektif teoretik, hak pilih dapat dibedah dalam dua segmentasi, pertama Hak pilih aktif yakni hak untuk memilih yang diberikan kepada setiap warga negara untuk menentukan wakilnya melalui arus pemilihan umum.

Hak ini digantungkan pada Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 yang dengan tegas mengukuhkan bahwa hak untuk memilih adalah jaminan yang sakral dan diakui sebagai bagian dari hakikat demokrasi yang hidup dan bernafas dalam nadi bangsa. Kedua, hak pilih pasif yang menjaminkan setiap orang berhak untuk melenggang dalam kontes politik.

Mengajukan diri sebagai pejabat negara melalui prosesi electoral sesuai dengan konstruksi yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan. Pada segmen ini, setiap orang diberi kesempatan untuk menawarkan dirinya kepada pengampu daulat (dalam hal ini rakyat) melalui pusaran pemilihan umum atau sejenisnya. Mengenai hak poltik pasif, ASN tetap dapat mengaksesnya namun dengan mengundurkan diri terlebih dahulu. Prosedur ini diterima sebagai bentuk penjagaan profesionalitas ASN dengan tidak melucuti haknya sebagai warga negara. Namun, dalam konteks hak politik aktif lah polemic menyerbak dan asas netralitas diidealkan hadir untuk menertibkan.

Upaya konstruktif dalam hal menjaga implementasi asas netralitas ASN dalam pemilu/kada secara bulat dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sebut saja pasal 70 ayat (1) huruf b yang melarang (diantaranya) pelibatan aparatur sipil negara dalam kegiatan kampanye. Frasa pelibatan dapat dimaknai luas, dalam arti mengikutkan ASN yang bermula pada inisiasi peserta pilkada maupun inisiatif pribadi ASN untuk mengikuti kampanye. Secara singkat dapat dipahami bahwa ketentuan ini melarang ASN untuk ada dalam kegiatan kampanye baik aktif maupun pasif. Tidak saja pada peraturan yang sifatnya lex specialist tentang pilkada, pasal 5 huruf n angka (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil turut pula melarang PNS untuk memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Ralryat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui ke-ikut-an pada kampanye dan menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS.

Perlu untuk disadari bahwa kampaye merupakan media interaktif antara peserta pemilu/kada dan para pemilih. Kampanye diilustrasikan sebagai media informatif bagi pemilih untuk dapat mengenali visi, misi dan program peserta pemilu/kada sehingga terbentuklah citra diri dan menguatkan pertimbangan pemilih untuk menentukan arah pilihanya dibilik suara.

Pungkasnya, melalui kampanye pemilih dapat memantapkan pertimbanganya untuk menentukan siapa yang akan dipilih dan dipercayakan mengemban daulat melalui proses electoral, dalam konteks ini termasuk pula ASN yang berstatus sebagai pemilih. Melarang ASN ikut kampanye tak ubahnya membatasi haknya sebagai pemilih untuk mengakses informasi serta bahan yang valid guna mematangkan konsiderasinya ketika hendak menyalurkan hak pilihnya. Jika ditarik dalam perspektif yang lebih luas dimana pemilu/kada dianggap pula sebagai media civic education, maka pelarangan ASN untuk mendapatkan pertimbangan objektif dalam menentukan hak pilihnya justru kontradiktif dengan semangat membangun kesadaran dan kualitas demokrasi yang ideal.

Memang, kampanye tidak sekedar dapat diakses dengan pola interaktif. Masih ada peluang bagi ASN untuk mendalami visi,misi dan program peserta pemilu/kada dengan mengambil media kampaye lainya sebagai referensi (alat peraga Kampanye lain; misalnya) namun, setiap orang memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengenali dan menentukan pertimbangan elektoralnya. Media interaktif tentu jauh lebih proper untuk membentuk kesadaran objektif pemilih (termasuk ASN) untuk mengenali calon yang akan dipilihnya.

Berdasarkan ilustrasi tersebut asas netralitas tidaklah proporsional jika diletakan secara “sapu jagad” hingga dapat membatasi hak politik ASN dalam kontes demokrasi. Setidaknya asas netralitas dirumuskan untuk melimitasi tercemarnya hak politik aktif ASN oleh tendensi kepentingan yang menyusup masuk dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pengemban tugas public negara. Kembali pada substansi netralitas yang membawa senyawa imparsialitas dalam pelaksanaan peran sebagai ASN, maka sepatutnya asas tersebut tidak kemudian mengabsorsi hak dasar ASN sebagai warga negara yang wajib mendapatkan porsi yang setara dalam hal membangun kesadaran berdemokrasi dan hak memilihnya. Asas netralitas terkangkangi jika kewenangan ASN sebagai pemangku tugas pelayanan public dijadikan sebagai media mempengaruhi atau melakukan tindakan pemerintahan yang menguntungkan kepentingan politik peserta pemilu/kada.

Namun, selama bermaksud untuk memenuhi ke-paripurna-an pemenuhan dan penyaluran hak pilihnya sebagai warga negara, maka bayang-bayang asas netralitas perlu ditempatkan sebagaimana peruntukanya dalam konstalasi electoral. Membatasi kencenderungan penyalahgunaan kekuasaan ialah diantara dari sekian tujuan hadirnya peraturan. Namun, menjadikan peraturan sebagai alat untuk mengurangi porsi hak dasar setiap orang tentu tidaklah baik. Bukankah pemilu/kada ialah sarana mendewasakan demokrasi? Oleh sebab itu, tidaklah tepat memperhadapkan kecenderungan tendensius personal dengan tanggungjawab negara memenuhi kebetuhan setiap warga negara terhadap hak dasar secara proporsional. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here