Mengenang Siti Marlina Qoriah Internasional dari Wawonii

673
Tanwir A.Md (47) tahun adik bungsu almarhumah Hj Siti Marlina

KENDARI, KARYASULTRA.ID-Lantunan ayat suci nan merdu dari pita suara sang maestro almarhumah Dra Hj Siti Marlina beredar masif di media sosial. Untuk pertama kalinya saya mendengar suara Qoriah internasional tersebut melalui YouTube atas nama Bang Dull yang di share pemilik akun FB Karim (Wartawan SKH Rakyat Sultra). Vidio rekaman ulang berdurasi 15 menit tersebut melantunkan Qur’an surat al-isra ayat 1-10.

Pemilik suara indah itu ternyata putri kelahiran Pulau Wawonii. Dia dilahirkan dan dibesarkan di Desa Tekonea Kecamatan Wawonii Timur, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep).

Merasa penasaran dengan kisahnya, Wartawan Karyasultra.id menelusuri kesaksian keluarga dekatnya. Saya dan Sulham menuju ke rumah almarhum di jalan Lasitarda tepatnya depan SMP 10 Kendari. Namun ditempat tersebut sudah tidak dihuni lagi. Kami pun mengontak beberapa kerabat yang mengetahui keberadaan keluarganya.

Wawancara bersama adik kandung Almarhumah Dra. H. Siti Marlina

Salah satu saudara kandung almarhumah berhasil kami temui di kediamannya lorong Mangga THR. Tanwir A.Ma (47) anak ke Delapan. Sore itu dia menerima kami usai dari menghadiri acara keagamaan.

Tanwir tidak bisa menceritakan secara detil tentang biodata almarhumah. Hanya beberapa garis besar saja yang diungkapnya, tentang rekam jejak pendidikannya, prestasinya dan sedikit mengulik tentang keluarganya. Kakak itu orangnya gigih dan tak henti menebar kebaikan. Hidupnya dihibahkan untuk mempelajari kitab suci Alquran dan menularkannya kepada siapa saja yang ingin belajar.

Bapak empat anak ini bercerita mengenang almarhumah. Katanya sejak almarhumah duduk di bangku sekolah dasar sudah menampakkan bakat suara indahnya dengan melantunkan ayat suci Alquran dan menyanyi qasidah. Setelah tamat SD di Desa Tekonea, Siti Marlina dititipkan sekolah agama mulai tingkat SMP dan SMA di Pesantren Ummusabri Kendari.

“Sejak sekolah agama di Ummusabri itulah bakatnya makin terasa hingga menjuarai lomba MTQ tingkat remaja. Bahkan tampil jawara MTQ tingkat Nasional di Provinsi Sulawesi Utara tahun 1972. Seingat saya begitu pak,” tuturnya sembari menegaskan almarhumah bukan tipe yang suka mengoleksi piagam sehingga sampai saat ini penghargaan itu tak terkumpul di rumah orang tua.

Tanwir lalu menyebut deretan keluarga. “Kami delapan bersaudara dilahirkan dari pasangan almarhum bapak H Muarif dan mama Hj Hamidah yang kini berumur 90 tahun dan tinggal di Tekonea. Anak pertama Hj Siti Marlina, kedua Umi Hani, Rostini (almarhumah), Suriamin, Paharudin, Nisiana, M.Nur dan saya anak bungsu Tanwir.”

Tanwir juga mengungkap bahwa kakaknya menempuh pendidikan strata satu melalui program khusus dari pihak pemerintah provinsi Sultra kala itu untuk kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Adab. Usai kuliah dia dinikahi suaminya Surya Darma tahun1980. Mereka dikaruniai tiga anak laki-laki. Pertama Avesina Darma yang kini tinggal di Jakarta, drh Givari Darma dan anak ketiga Bika Albiruni Darma masih kuliah. Anak kedua dan ketiga tinggal di Jogjakarta. Anak kedua jebolan dokter hewan.

Tanwir lalu bercerita kesuksesan kakaknya membumikan Al-Quran di tanah rantau Jogjakarta. Berbagai lomba MTQ yang diikutinya di daerah tersebut selalu menyabet juara satu dan paling mentok juara dua. Kemudian puncaknya adalah mewakili Indonesia sebagai peserta MTQ tingkat dewasa di Malaysia tahun 1991 dan berhasil mengharumkan bangsa ini sebagai juara satu.

“Atas prestasi itu, almarhum naik haji bersama pak Presiden Soeharto. Pasca itu kakak lebih banyak waktunya sebagai pembina atau pelatih ikatan qori-qoriah nasional dan internasional. Kemudian di tempat tinggal di Jogjakarta wilayah Sapen selalu ramai dengan pengajian. Mereka yang datang belajar mengaji dari wilayah Jawa dan bahkan ada dari Papua. Saya saksikan sendiri karena sempat berada di Jogjakarta tujuh tahun lamanya,” ujarnya sembari menunjukkan kemahiran bahasa jawanya.

Almarhum itu tercatat sebagai PNS di Departemen Agama (Depag) Jogjakarta. Lalu pindah ke Depag Kendari tahun 2004 pasca tiga tahun meninggalnya suaminya. Selama berada di Kendari hingga pensiun, kakak mengajar di IAIN dan STIKES Avicenna. Bahkan mengajar juga di Pesri Umussabri. Selain itu mendirikan majelis ta’lim Nurul Jannah yang menghimpun ibu-ibu dari Wawonii yang bermukim di Kendari.

Di Kota Kendari Kaka dipertemukan jodoh keduanya dengan bapak Nurdin Mane (almarhum) mereka tidak dikarunia keturunan. “Ibu Hj Siti Marlina meninggal di Kota Kendari tahun 2012 dan dikebumikan di Kelurahan Padeleu Kecamatan Kambu tepatnya usia 58 tahun. Almarhumah meninggal tidak sakit keras. Dia wafat usai dari Wakatobi melakukan pengawasan penyuluh agama. Sesampainya di Kota Kendari sempat di rawat di rumah sakit selama satu malam di Santa Anna, almarhumah mengidap riwayat tekanan darah tinggi,” terangnya.

“Saya mengenang Kakak sebagai pribadi yang hidup apa adanya. Dia sungguh tak tertarik dengan kemegahan dunia. Setahu saya, dia tidak pernah beli emas. Ada Emas dan Berliannya itu dari hadiah juaranya. Saya lihat dia itu hanya mau menebar kebaikan. Jiwa persaudaraannya dan sosialnya sangat tinggi. Dia tidak beda-bedakan orang, dia bergaul dengan siapa saja dengan latarbelakang agama apapun,” kenangnya, Sabtu (13/3) sore.

cover kaset pita pengajian Al-Quran Dra. H. Siti Marlina

Dikesempatan itu, Tanwir menelfon anak kedua almarhum yang kini tinggal di Jogjakarta. Dengan logat jawanya mereka berbincang saling menanyakan kabar. Saat itu kami pun berkesempatan menanyakan sosok ibunya. Givari Darma agak terdiam sejenak lalu mengatakan, ibu itu orangnya super sibuk. Setiap hari di rumah selalu ada muridnya yang datang mengaji dari berbagai kalangan. Bisa 5 sampai 6 orang yang datang. “Jadi kami yang harus menyesuaikan dengan jadwal ibu. Ia juga sibuk dengan organisasinya mengajar Alquran Qoriah dan Tartil,” ungkapnya. “Ibu juga bagian dari penulis buku iqra satu sampai enam. Jadi ada itu buku iqra yang beredar adalah bagian dari kerja-kerja mereka,” tambahnya.

Givari tidak bisa menjawab banyak pertanyaan Wartawan. Ia selalu terdiam sejenak saat ditanya sosok almarhumah. “Yang paling terasa ibu itu dedikasinya masih sangat terasa sampai saat ini. Hidupnya untuk Alquran. Bahkan seingat saya, salah satu dosen di UGM yang kini jadi imam mesjid UGM adalah muridnya ibu. Ada juga atas nama Abdul Azim dari Jepara muridnya yang meraih juara 3 MTQ Nasional. Setiap yang datang belajar di rumah, kami pun ikut mengaji tapi sulitnya itu minta ampun mas,” kenangnya. (Berita ini bersambung).

Penulis: Sulham
Editor: Kalpin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here