Memaknai Putusan MK Tentang Pilkada

355

Oleh: Jamal Aslan

Memilih sebagai negara hukum yang demokratis tidak didapatkan secara gratis. Diperlukan konsistensi untuk mendudukan kedaulatan rakyat dibawah naungan hukum sebagai pembatas antara hasrat kuasa dan filosofi daulat rakyat. Ramuan hukum diformulasi serta ditempatkan untuk mencegah kekuasaan absolut yang akan menggeser bandul prioritas demokrasi, antara urgensi termanifestasinya kehendak luhur publik dan dominasi kekuasaan praktis. Leges be fortoir omnia poset, adigium ini menyiratkan fungsi hukum dalam dinamika kekuasaan dimana hukum dibuat agar kekuasaan terbatasi. Cara pandang inilah yang menjiwai konteks demokrasi konstitusional. Jaminan kedaulatan rakyat dikonkritkan melalui kepatuhan terhadap konstitusi sehingga implementasi terhadap nilai-nilai konstitusional dalam aktualisasi demokrasi dikawin-padankan secara seksama dan fungsional.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan 70 muncul ibarat turbulensi pada awan pilkada serentak yang mulai memasuki episode penting dan genting. Seolah “bola-bola” koalisi dan strategi politik yang sidah diracik kembali harus diatur ulang. Landscap politik menjadi semakin membingungkan setiap orang, presepsi pun muncul secara variatif. Yang juga mempesona pada soalan fenomena ini ialah peran MK yang bagi segelintir pihak dianggap melompati pakemnya sebagai badan peradilan yang dianggap memasuki halaman pembentuk undang-undang melalui kebijakan politik hukum. Tulisan ini akan dimulai dengan mengungkap posisi MK dalam implementasi fungsi judicial constitutional review serta implikasinya dalam kaidah ketatanegaraan. Tidak secara langsung berkenaan dengan substansi putusan 60 dan 70, namun bertalian dengan gonjang-ganjing diskusi dan perdebatan yang mengitari kontras putusan tersebut yang juga akan diulas bersamaan.

Kedudukan dan fungsi MK dalam Dinamika Tarik-Ulur Politik

Berdayanya hukum secara normatif memerlukan peran struktur secara aplikatif dan efektif. Dalam karakter rechtstaat kita, hukum ditemukan dalam barisan perundang-undangan yang tersistematisasi secara singkronisatif dan harmonisatif. Namun, tidak pula dapat dipungkiri bahwa undang-undang yang merupakan salah satu diantara jenis perundang-undangan merupakan produk lembaga legislatif sekaligus merupakan ekstraksi dari keterwakilan institusi politik. Kondisi ini bisa saja membuka peluang tersususpinya tendensi politik secara masive dalam pelaksaan fungsi legislasi baik dalam permainan kepentingan politik maupun pembangkangan terhadap susunan hukum rumusan undang-undang lainya. Olehnya, badan peradilan disertakan dalam upaya penjagaan kualitas dan substansi hukum tersebut. Mengapa lembaga yudikatif? Sederhana dalilnya, diantara kedua cabang kekuasaan konvensional tersebut (eksekutif dan legislatif), badan peradilanlah yang disematkan jubah “independensi dan imparsialitas”. Produk hukum yang dibuatnya pun memiliki daya ikat serta dapat dipaksakan. Final and binding merupakakan senjata badan peradilan untuk dapat menyapu kontroversi politik yang dibungkus dalam orkestrasi produk politik berupa undang-undang. Pada umumnya kehadiran Mahkamah Konstitusi dimaknai sebagai pembela komitmen konstitusional, pelindung hak asasi, dan pihak yang dapat menyelesaikan konflik kebijakan sosial melalui mekanisme judicial review. Pada sisi inilah judicialization of politics mengeruak kepermukaan sebagai fundasi lahirnya badan peradilan guna memfilter keberadaan undang-undang. Judicialization of politics adalah sebuah ekspansi badan peradilan untuk mengadili perkara mengenai kebijakan publik yang memiliki unsur politis dalam rangka membatasi kewenangan cabang kekuasaan lain yang merepresentasikan mayoritas. Hirschl menguraikan bahwa serangan badan peradilan secara litigasi dalam konteks judicialization of politics ialah untuk mematahkan “manuver hegemoni” lakon cabang kekuasaan politik ketika melahirkan kebijakan publik yang kontroversial. Pengalihan penentuan masalah kepada pengadilan akan meminimalisir resiko penolakan terhadap kebijakan tersebut oleh masyarakat yang dapat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap kinerja mereka dan menjaga posisi mereka dalam pemerintahan.

Pada proposisi inilah MK berpijak. Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 yang mengatribusikan kewenangan menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk dijalankan melalui 9 hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dalam lembaran lainya, kewenangan judicial review itu turut membawa senyawa fungsionalitas yakni tafsir terhadap konstitusi. Dengan kata lain, dalam judicial constitutional review MK juga dalam kepentingan the interpretature of constitution. Tafsir MK berkekuatan hukum sama dengan kewenangan judicial review sebab berdiri pada bongkahan yang sama yakni judicialization of politics. Olehnya, dalam kontroversi politik, MK muncul ibarat secerca Cahaya fajar diujung pagi yang diselumuti mendung. Keberadaan MK akan membawa kontraksi politik pada posisi yang relevan dengan prinsip konstitusional atau setidak-tidaknya ternetralisasi.

Dalam konstruksi ketatanegaraan Indonesia, MK menyiarkan kemurnian implementasi nilai-nilai konstitusional dalam undang-undang sehingga determinasi politik tidak mencemari keluhuran konstitusi. Dengan demikian, kepatuhan politik terhadap putusan MK merupakan bentuk lain dari kepatuhan terhadap hukum. Politiea legius non leges politii adoptande atau politik mestinya tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.

Titik Kontroversi Putusan MK tentang Pilkada

Putusan MK No 60 dan 70 beririsan sama pada kontestasi pilkada meskipun pada issue yang berbeda. Untuk itu, guna menyelami hiruk-pikuk pelik kedua putusan ini, perlu untuk kita separasikan konten analisisnya secara segmentatif. MK No.60/PUU-XXII/2024 secara khusus menyoal perihal syarat pencalonan Kepalda Derah yang lazim dikenali dengan nomenklatur parlementary threshold. Merujuk pada pasal 40 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (sebut UU Pilkada) menegaskan bahwa “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari sudut pandang varian, putusan ini tergolong sebagai putusan yang conditionally insconstitutional atau inkonstitusinal bersyarat.

Putusan dengan varian tersebut menyiratkan MK tidak saja men-declaratoir keadaaan hukum tetapi juga mengurai tafsir secara limitative. Sederhanaya, jika diimplementasikan diluar tafsir MK, maka keadaan yang timbul ialah terjadinya pertentangan terhadap konstitusi. Dalam tarfsir MK tolak ukur untuk mengkoversi ambang batas pencalonan Calon Pilkada tidak lagi ditempatkan pada kepemilikan keterwakilan partai politik di Lembaga legislative local dengan merujuk pada hasil pemilu terakhir melainkan dengan memproposisikan angka ambang batas pada jumlah Daftar Pemilih Tetap dan Presentasi perolehan suara. Dengan demikian, ambang batas yang diuji akan menangkangi konstitusi jika diformat dan dilaksanakan diluar dari neraca jumlah DPT dan presentasi perolehan suara yang tertera diantara range presentasi DPT dan total perolehan suara sebagaimana ditafsir oleh Putusan MK.

Dipihak lain, putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 bahkan tak kalah memunculkan kegaduhan. Bahkan ibarat kerja “petir”, DPR melalui Baleg segera rembuk untuk menyikapi putusan ini bahkan dengan dagelan yang aneh dan terkesan tergesa-gesa. Perkara tersebut menguji konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Substansi putusan ini ialah tafsir menyangkut syarat usia calon kepala daerah yang dianggap mengalami pergeseran tolak ukur terlebih setelah adanya amar putsan Mahkamah Agung. Tercatat bahwa Putusan Nomor 23 P/HUM/2023 memberikan pemaknaan baru terhadap Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020, yang pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan usia minimal bagi calon kepala daerah yang terdapat pada pasal a quo ialah dihitung sejak pelantikan, bukan sejak penetapan calon kepala daerah.

Dalam uraian dalilnya, pemohon merasa bahwa tafsiran tersebut memunculkan ketidakpastian hukum mengenai indicator perhitungan batasan usian Calon Kepala daerah secara jelas. Terlebih manakala menengok original intentnya, sedari No. 1 Tahun 2015, UU No. 8 Tahun 2015, hingga perubahan yang terakhir dengan UU No. 10 Tahun 2016, baik dalam naskah akademik bahkan hingga pendeteksian pada risalah pembahasan di DPR, ketentuan baku perihal penentuan metode perhitungan batas usia tidak dirumuskan secara terang benderang hingga memunculkan tafsir liar dan tidak tetap. Jika dikonkritkan, kerancuan tafsir ketentuan ini ialah pada kapan batasan usia minum tersebut dihitung, apakah saat pencalonan sebagai dipahami dan diterapkan sebelumnya ataukah sesuai tafsir MA yakni saat pelantikan sebagai Kepala Daerah defenitif. Dalam Putusan ini, MK enggan memberikan perluasan atau penegasan tafsir melalui penambahan rumusan redaksi pengaturan tertentu. Olehnya pada Putusan nomo 70, MK menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dalam artian, tidak ada penambahan tafsir perihal syarat minimum usia Cakada selain yang dimaksud dalam UU Pilkada atau setidak-tidaknya dalam pertimbangan putusan 70 tersebut.

Bagaimana memaknai spirit dan konstruksi hukum putusan MK No 60 dan 70 Tahun 2024.

Mengenai substansi putusan 60, yang menarik ialah mencermati ratio decidendi dalam amar pertimbangan. Pada pertimbanganya, MK menegaskan bahwa kendatipun partai politik tidak memiliki keterwakilan lembaga legislative local pasca pemilu 2024 terakhir, namun kedudukan hukumnya sebagai partai politik tetap memiliki hak konstitusional untuk dapat mengajukan calon kepala daerah berdasarkan perolehan suara sah yang tidak lain merupakan suara rakyat. Mahkamah mengilustrasikan proyeksi yang sama antara calon yang diusung melalui jalur indepent dan yang diusulkan oleh partai politik. Adalah rasio yang tidak imbang jika jalur independent merujuk pada presentasi keterwakilan dukungan DPT yang dibentang dalam jangkauan 6,5 hingga 10% sedangkan jika diusung oleh parpol menggunakan presentasi yang lebih besar (20atau 25%), apalagi diekslusifkan “hanya: bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Ringangnya adalah, Putusan 60 menyamakakan potensi kandidasi calon kepala daerah baik yang diusung oleh perorangan maupun parpol, meskipun parpol tersebut tidak memiliki keterwakilan dikursi DPRD.

Dalam opini penulis, putusan ini sangat proresif karena menggunakan komposisi perolehan suara sebagai tolak ukur utama atau dengan tidak terjebak lagi pada perolehan perwakilan partai di DPRD. Hal ini dikonstruksikan pada pengarus-utamaan perolehan daulat rakyat melalui pilihan suara atau tidak terkesklusivistik pada proyeksi keterwakilan partai semata. Secara sistemik, model seperti ini menghapuskan dikotomi antara partai diminan dan partai yang minim kursi ataupun perolehan suara. Standart konversi perolehan suara yang turun drastic membuka peluang bari parpol manapun yang tercatat sebagai peserta pemilu untuk memperoleh hak yang sama dalam hajatan politik pilkada. Dilain sisi, persyaratan ini juga mengelimisasi politik transaksional yang cenderung dapat dimanfaatan untuk memborong habis parpol atas dasar incaran keterpenuhan 20 keterwakilan kursi atau 25 % total perolehan suara parpol di DPRD. Upaya untuk mensabotase pilkada sehingga hanya memunculkan calon Tunggal nyaris tidak memiliki ruang mengingat nominal 6,5-10% perolehan suara hampir dipastikan dapat dipenuhi oleh setiap partai.

Nampaknya dalam konteks ini, MK mengedepankan prinsip adil sebagai nada utama dalam putusan ini. Sejatinya semenjak dikategorikan sebagai peserta pemilu, maka hak parpol seyogyanya ditempatkan secara equal. Kembali pada penegasan sebelumnya, putusan ini menggantikan dominasi keterwakilan partai dengan mengembalikan maruah daukat rakyat yang dicerminkan melalui perolehan suara. Seharnsya memanglah demikian. Parpol sebagai entitas politik sungguhlah tidak bernyawa jika tidak memiliki asupan dukungan rakyat. Maka mengembalikan proyeksi pemenuhan hak parpol dalam hajatan kadidasi pada keterpenuhan suara pemilihan dari rakyat ialah bentuk menarik kembali substansi general eletion system pada jiwa yang sebenarnya yakni kedaulatan ditangan rakyat.
Khusus mengenai putusan nomor 70, MK memiliki proposisi pertimbangan yang terkesan lebih hati-hati. Hal ini bukan tanpa alasan, jika diselami secara seksama, bangunan pertimbangan MK diracik mempertimbangkan setidaknya 4 aspek, yakni historis, sistematik, kategorisasi tahapan pilkada termasuk dalam pengelompokan pengaturan pada perundang-undangan.

Dalam pertimbangan MK pada putusan aquo dijelaskan bahwa berdasarkan pendekatan historis, ketentuan syarat minimal Cakada sebelum diatur pada UU Pilkada juga telah dirumuskan pada ketentuan Perundang-Undangan lain yakni Pasal 13 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 22/2014), 2. Pasal 7 huruf e Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu 1/2014), Pasal 7 huruf e Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015), . Pasal 7 huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015 dan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016. Bertalian dan senada, dari keseluruhan korespondensi Perundang-undangan tersebut, tidak ditemukan perubahan penentuan batasan minum usia Cakada termasuk dengan limitasi dan penegasan perhitungan usianya. Dengan demikian, sedari mula hingga pengaturan terakhir melalui UU 10 Tahun 2016, batasan usia 30 tahun bagi Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 Tahun untuk Bupati/Walikota atau Wakil Bupati dan Wakil Walikota tidak pernah berubah dan selalu dimaknai sama secara konsisten yakni pada tahapan pencalonan.

Selanjutnya penafsiran melalui perspektif sistematis. Manakala hendak dibuka dan ditelaah, titik mulai menghitung batasan minimum usia Cakada tidak dapat dipisahkan dengan tolak ukur untuk mengkalkulasi batasan usia pada jabatan atau kontestasi serupa, meskipun tidak secara lex scripta dimuat dalam rumusan pasal. Ambil contoh dalam hal batasan usia calon anggota DPR/DPD/DPRD bahkan Presiden dan Wakil Presiden senada dimulai ditahap penetapan calon, bukan pada tahapan pelantikan.

Tentulah menjadi tidak lazim jika khusus pada kontestasi Pilkada, justru rumusan kapan memuli menghitung batasan usia minim dikonkritkan atau dalam arti proyeksi titik mulai menghitung batasan usia minimal Pilkada sejatinya dimaknai sama denggan konteks pemilihan lainnya.

Dalam elaborasi lebih jauh yakni dari segi tahapan kategorisasi pilkada. Merujuk pada pasal 5 ayat (3) UU No 8 Tahun 2015 yang mengkategorisasi tahapan pilkada setidaknya dalam rangkaian yang dimulai dari tahapan pendaftaran, penelitian persyaratan calon, dan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kesemua syarat tersebut berkelindan satu dengan yang lain.

Olehnya dalam batas penalaran yang wajar, semua tahapan yang berkaitan dengan pencalonan mesti dilunasi sebelum penetapan calon. Akan menjadi absurd dan bias jika syarat pencalonan disematkan pada tahapan setelah pencalonan. Logika ini tentu menyalahi setidaknya sistematisasi tahapan yang dapat dengan mudah dibaca dan ditegaskan tanpa membutuhkan perdebatan pelik dan perluasan pertimbangan yang imajinatif alias tidak berdasar. Hal ini semakin konkrit jika kita menggunakan perspektif selanjutnya yakni pengkategorisasian pengaturan. Dalam hukum dikenal kaidah titulus est lex, rubrica est lex dimana title menentukan hukum dan rubrik atau bagian menentukan hukum pula. Hendaklah kita berselancar lagi, menyusuri perundang-undangan yang mengatur perihal batasan usia ditempatkan dimana. Dimulai dari , UU 22/2014 mengatur dalam Bab IV “Peserta Pemilihan dan Persyaratan Calon; Perppu 1/2014 mengatur dalam Bab III “Persyaratan Calon”; UU 1/2015 mengatur dalam Bab III “Persyaratan Calon”; UU 8/2015 mengatur dalam Bab III “Persyaratan Calon”; dan UU 10/2016 mengatur dalam Bab III “Persyaratan Calon”. Dengan demikian, ration temporis untuk mengidentifikasi batasan usia minum Cakda tentunya sejalan menjadikan tahapan pencalonan sebagai landas pacu pengukuranya. Kontraproduktif jika batasan usia Cakada yang diatur dalam Bab tentang pencalonan namun menggunakan tahapan diluar pencalonan sebagai tolak ukur. Oleh karena itu, sejatinya kedua putusan MK ini tidak membutuhkan Langkah lain selain dipatuhi dan dijalankan sebagaimana mestinya.

Perdebatan diruang praktis terlebih jenggal-menjeggal baik secara procedural maupun naratif seharusnya tidak menghiasi upaya Pembangunan demokrasi yang telah dikembalikan oleh MK. Disinilah kenegarawanan diuji. Tentu tidaklah elok memaksanakan kebutuan untuk mengakomodir kehendak segeleintir. Bukankah demokrasi ialah sarana menyerap keluhuran kedaulatan rakyat? Hendaknya penisbahan hukum sebagai panglima tidak hanya slogan, melainkan etika dalam berpolitik dan bernegara. JAMAL ASLAN (Praktisi Hukum/Mahasiswa S3 Pasca Sarjana UNHAS).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here