Opini Oleh : Jamal Aslan
Keberadaan badan peradilan tidak saja berkonotasi sebagai “meja penyelesaian sengketa hukum. Jauh lebih dalam dari itu, badan peradilan merupakan cerminan tegaknya hukum serta ketunduk-patuhan setiap subjek hukum atas nama keadilan. Dalam kacamata judicalizatioin of politics, pengadilan diilustrasikan untuk memurnikan kecenderungan tersisipnya pesan politis dalam rumusan peraturan maupun pelaksanaanya. Demikian pula kilas historis menguraikan kehadiran peradilan administrasi sebagai bagian upaya sistematis merapihkan arus kuasa negara yang sejatinya terbendung dari abuse of power berkonotasi penyalahgunaan wewenang. Singkatnya, peradilan administrasi bisa ditelusuri tumbuh kembangnya melalui pencarian bentuk rechtstaat sebagai varian konsep negara hukum. Pada sistem negara tersebut, negara dituntut untuk menjalankan kekuasaannya bukan secara sewenang-wenang, melainkan berdasar pada hukum yang telah ditetapkan dan diadministrasikan secara transparan. Prinsip-prinsip utama dari Rechtsstaat meliputi, Legalitas dan Kepastian Hukum, yang mana setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada hukum yang telah ada atau sah serta Kontrol terhadap Kekuasaan Administratif dimanaNegara harus selalu tunduk pada aturan hukum sehingga kekuasaan administratif tidak disalahgunakan. Sebagai salah satu manifestasi dari prinsip ini, peradilan administrasi muncul sebagai alat untuk mengawasi dan menguji keputusan-keputusan aparat pemerintah agar tidak melanggar hukum dan prinsip keadilan. Dengan demikian, putusan peradilan administrasi bukanlah bermakna penghakiman semata. Putusan aquo merupakan formula judicial guna menjaga tendensi yang merasuki pelaksanaan perbuatan pemerintah dengan karakter sewenang-wenang. Olehnya kepatuhan terhadap putusan peradilan administrasi merupakan gambaran lain dari pedulinya kita terhadap pelaksanaan pemerintahan yang baik dan berbasis pada hukum.
Disisi mata uang yang lain, putusan pengadilan juga memiliki makna yang tidak kalah mulianya. Alexander Hamilton dalam Federalist No. 78
Dalam karya klasiknya tentang pembagian kekuasaan di Amerika Serikat, Hamilton menulis:“Kekuasaan kehakiman adalah benteng bagi kebebasan; meskipun tidak menggerakkan pedang atau mengayunkan dompet, peran utamanya adalah memberikan interpretasi terhadap undang‑undang demi menjaga hak rakyat.” Meski disusun dalam konteks pemerintahan Amerika, gagasan ini menekankan pada prinsip pengadilan sebagai penjaga norma dan konstitusi suatu tugas yang esensial untuk mempertahankan martabat dan keadilan hukum. Upaya menjaga dan melindungi hak kolektif Masyarakat sipil menjelaskan tentang dimensi keadilan dari setiap barisan kemuliaan putusan pengadilan. Meneguhkan implementasi atas vonis, tentu saja mewakili makna yang sama dengan merawat kemanusiaan yang mengitari hak Masyarakat. Dapatlah disimpulkan bahwa putusan pengadilan bukan saja merupakan cermin kuasa negara untuk menghakimi. Lebih filosofis dari itu, putusan pengadilan ialah media membuka marwah keadilan dari sekelumit pelaksanaan kekuasaan. Terlebih pada sengketa public, kepatuhan terhadap putusan pengadilan juga dapat ditafsirkan sebagai kerangka sistemik guna menjaminkan perilundungan hak sipil. Olehnya demi tertib negara hukum maka organ penyelenggara negara wajib untuk menjiwai putusan pengadilan dalam pelaksanaan fungsinya dan tidak mengangkanginya demi tegaknya hukum dan kemanusiaan.
Belum lama ini, Dalam putusan Nomor 403 K/TUN/TF/2024 tertanggal 7 Oktober 2024, Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pani Arpiandi, terhadap Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta PT Gema Kreasi Perdana. Putusan ini senada dan menyusul dua Putusan MA sebelumnya yang membatalkan pasal-pasal tambang dalam Perda RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan dan Putusan MK. Singkatnya, aktivitas pertambangan di Konawe Kepulauan mesti di-stop alias tidak boleh dilakukan lagi. Namun nyatanya, “prahara tanah merah” dipulau tersebut tidak kunjung selesai baik seacara factual maupun dalam diskurus hukum. Surat yang ditanda tangani oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tertanggal 5 Desember 2024 perihal Permohonan Konfirmasi dan Klarifikasi Nomor: S 128/pokum/ADP/PLA.O/12/2024 memunculkan paradoks baru yang memperuncing arena dialektika pro-kontra geliat pertambangan Konkep. Surat aquo ditafsirkan sebagai alas legalitas untuk kegiatan pertambangan berderu kembali. Seakan putusan Mahkamah Agung menjadi tumpul dengan kehadiran Surat tersebut yang secara substansi harus digolongkan sebagai norma hukum dengan karakter beschikking. Pertanyaan selanjutnya menyeruak, dapatkah Perbuatan Pemerintah dalam artian administrasi mengangkangi putusan pengadilan terlebih yang mekanisme lebih detilnya telah ditegaskan dalam perundang-undangan? Tulisan ini akan mencoba mengungkap beberapa dimensi serta konstruksi hukum yang berkenaan dengan klaim sepihak dari keberadaan Surat Klarifikasi yang dimaksud.
Menyelami Putusan MA Nomor 403 K/TUN/TF/2024
Dalam beberapa tulisan sebelumnya telah diuraikan perihal kompetensi Mahkamah Agung dalam mengimplementasikan fungsi judicial review. Dalam konteks ini penulis hendak mensegmentasi alur penjelasan dalam beberapa dimensi yang saling simultan. Pertama, substansi putusan mahkama Agung dalam pelaksanaan fungsi pengujian norma hukum (norm control mechanisme) sejatinya berpijak pada korespondensi asas hukum yang berlaku umum demi tertibnya muatan materi dan kesesuaian aspek formil perundang-undangan. Lazim dikenali dalam lapangan ilmu hukum bahwa norma hukum dalam format peraturan perundang-undangan tersusun secara bertingkat, berjenjang atau hirarkis. Stufenbhou theory yang diuraikan oleh Hans Nawiasky mengilustrasikan kedudukan peraturan perundang-undangan yang disusun dari Tingkat lebih tinggi hingga pada tingkat lebih rendah. Penempatan norma perundang-undangan secara hirarkis tersebut juga berdampak pada keberlakuan normanya, sebagaimana diuraikan oleh Adolf Merk. Dikarenakan penyusunan secara berjenjang itulah, maka peraturan yang lebih tinggi menderivasi peraturan yang lebih rendah, khususnya dalam aspek materil atau isi. Disinilah berdengung kembali asas hukum yang berlaku umum dimana Lex Superior Derogat Legi Inferiori. Olehnya tidak diperkanankan norma hukum yang lebih rendah bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Disisi lain, mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan pada Mahkamah Agung diasosiasikan untuk memastikan terpenuhinya syarat legalitas dari pelaksanaan suatu norma hukum.In casu, objektumlitis yang diuji bukan saja sesame peraturan perundang-undangan, melaikan juga menyangkut norma hukum lain yang “menyantol” pada peraturan perundang-undangan tersebut- diantaranya ialah Keputusan tata usaha negara. KTUN yang diuji di Mahkamah Agung tidak saja berkonotasi dan dikarenakan sistem peradilan berjenjang, melainkan juga berkaitan dengan pemenuhan prinsip legalitas dalam pelaksanaan adminitrasi negara. Wetmatigeheid van bestuur mengharuskan perbuatan administrasi negara (termasuk membuat Keputusan) harus berdasar pada keterpenuhan prinsip legalitas atau keabsahan dalam proyeksi perundang-undangan. Sehingga tanpa alas legalitas yang kuat, suatu Keputusan tata usaha negara dapat diuji keberadaan bahkan akan berdampak pada aspek keberlakuanya pada lalulintas perbuatan hukum pemerintah dan pelaksanaan norma hukum negara (Peraturan, Keputusan)
Dimensi kedua ialah menyangkut kekuatan putusan dan relevansinya terhadap keberlakuan suatu Keputusan tata usaha negara. sekedar mengulangi kembali, karakteristik putusan pengadilan (vonnis) dapat dimaknai dalam 3 jenis, declaratoir, yang membawa senyawa penentuan keadaan hukum tertentu baik dalam bentuk ketidak-absahan maupun keabsahan, constitutief atau membentuk keadaan hukum baru yang menggantikan keadaan hukum yang lama serta condemnatoir atau putusan yang memuat perintah khusus tertentu. Jika dibaca dengan jeli, putusan MA Nomor 403 K/TUN/TF/2024 setidaknya mencerminkan dua karakter secara bersamaan. Pertama karakter declaratoir mengingat putusan aquo menyatakan batal dan tidak sah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan operasi Produksi Bijih Nikel dan Sarana Penunjangnya pada Kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi atas nama PT GKP yang terletak di Kabupaten Konawe Kepulauan. Kedua karakter condemnatoir atau putusan yang memuat perintah khusus tertentu. Pada dictum “Putusan Mengadili Sendiri” jelas tertera bahwa putusan aquo memerintahkan untuk menunda pelaksanaan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014 sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Perlu untuk dicatat bahwa Definisi dan arti kata Mengadili Sendiri adalah mengadili dengan kewenangan yang dimiliki sendiri. Istilah ini sering muncul di dalam putusan badan peradilan yang akan membatalkan putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah. Sebagai contoh, istilah ini dapat ditemukan dalam Putusan Pengadilan Tinggi yang akan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri atau Putusan Mahkamah Agung yang akan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi. Adanya pembatalan putusan badan peradilan pada tingkat lebih rendah, mengakibatkan status quo terhadap perkara yang telah diperiksa. Oleh sebab itu, terhadap perkara tersebut perlu diadili kembali sehingga memberikan kepastian hukum terhadap pihak-pihak yang berperkara. Sehingga jikapun Putusan Mahkamah Agung dalam konteks membatalkanKeputusan Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014 hendak diuji kembali pada upaya hukum selanjutnya, setidaknya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014 tetap harus ditunda pelaksanaan dan keberlakuanya sampai dengan adanya putusan Inkracht Van Gewijsde dan tidak lagi terjadi status kekosongan hukum. Hanya dengan memaknai substansi putusan tersebut beradasarkan pertimbangan tersebut, sejatinya dapatlah dipahami bahwa aktivitas pertambangan di pulai Wawonii minimal tetap harus ditunda atau ditangguhkan meskipun ada upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pihak Terguguat. Selanjutnya, menganorasi paradoks ini, proyeksi kita juga dapat diarahkan pada bagaimana sifat keberlakuan putusan pengadilan, termasuk putusan Mahakmah Agung. Telah dipahami dalam perspektif nalar hukum bahwa vonnis tetap dinyatakan sah dan berkekuatan hukum sampai dengan adanya putusan sebaliknya. Konsepsi itu kita temukan dalam rumusan asas/prinsip res judicata pro Veritate habitur. Meskipun putusan MA Nomor 403 K/TUN/TF/2024 tengah digulir pada mekanisme Penijauan Kembali, namun sangatlah tidak beralasan jika seketika kemudian muncul anggapan bahwa putusan aquo menjadi tidak berkekuatan hukum. Justru, kejelian Majelis Hakim MA dalam perkara ini terletak pada adanya rumusan putusan yang mengantisipasi kemungkinan terjadinya staus quo terhadap objek yang diuji. Pendeknya, meskipun yang di Peninjauan Kembali ialah putusanya sehingga munculkah anggapan bahwa putusan aquo belum berkekuatan hukum tetap, namun perintah menunda pelaksanaan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014 tetap WAJIB ditaati.
Surat Konfirmasi dan Klarifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Proyeksi Keputusan Tata Usaha Negara.
Keputusan Tata Usaha Negara merupakan salah satu varian dari perbuatan administrasi negara yang juga tergolong sebagai norma hukum. Familiar dalam pahaman pemerhati hukum, bahwa norma hukum setidaknya ditemukan dalam 3 varian, regeling (peraturan yang mengatur umum), beschikkiing (Keputusan yang berisikan penetapan), serta Vonnis/judgement (putusan pengadilan). Keputusan Tata Usaha Negara tergolong sebagai beschikkiing yang Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt bersifat konkret individual. Dalam konteks pelaksanaanya, setiap Keputusan Tata Usaha Negara dapat digiring masuk substansinya berkenaan dengan kedudukan sistematis yang merujuk pada Bagian Keempat Bab IX UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Negara dimana keadaan tersebut dijelaskan dalam 4 fase yakni Perubahan, Pencabutan, Penundaan dan Pembatalan. Jika disingkronisasikan dengan putusan MA Nomor 403 K/TUN/TF/2024, maka Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014 ditarik berada pada mekanisme penundaan. Pertanyaanya, apakah dapat suatu Keputusan Tata Usaha Negara mengalami penundaan melalui putusan pengadilan? Jawabanya Iya. Hal ini dimuat dalam pasal 65 ayat (3) UU No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Ketentuan aquo menysaratkan format hukum yang dapat membuat Keputusan Tata Usana Negara ditunda keberlakuanya. Format tersebut antara lain: Pemerintahan Pejabat Pemerintahan Terkait atau Putusan Pengadilan. Apakah harus berkekuatan hukum tetap? Jawabanya tidak harus. Jika menelisik penjelasan pasal aquo tidak ditegaskan bahwa putusan pengadilan tersebut harus final atau tidak. Cukup dengan adanya perintah penundaan melalui putusan pengadilan, Iya, suatu Keputusan Tata Usaha Negara sudah dapat ditunda keberlakuanya, termasuk in casu Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014 melalui putusan MA Nomor 403 K/TUN/TF/2024. Pertimbangan tersebut selanjutnya menjadi lebih terang-benderang jika dikontekstualisasikan dengan ratio legis atau dasar pertimbangan hukum suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengalami Penundaan. Secara limitative dalam pasal 65 ayat (1) UU UU No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat ditunda pelaksanaanya jika “Berpotensi” menimbulkan: kerugian negara, kerusakan lingkungan hidup; dan/atau konflik sosial. Ketiga syarat tersebut tidak bersifat gradative ataupun hirarakis komplementer, melainkan bersifat subtitutif-kolektif. Maksudnya ialah penundaan Keputusan Tata Usaha Negara dapat saja dilakukan jika salah satu maupun keseluruhan syarat terpenuhi. Untuk hal ini, patutlah kita menelaah putusan MA Nomor 403 K/TUN/TF/2024 secara holistic serta membuka mata untuk mengamati fenomena factual perihal kegiatan pertambangan dipulau Wawonii yang sudah berseliweran pada media massa dan ingatan public.
Selanjutnya, mengenai Balasan Surat Permohonan Konfirmasi dan Klarifikasi yang telah disebutkan pada pembukaan opini ini sejatinya perlu dikaji kembali, Surat tersebut tidaklah tepat dijadikan dasar untuk tetap melakukan kegiatan pertambangan dengan dalih belum dibatalkanya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014 disebebkan adanya upaya hukum Peninjauan Kembali oleh pihak Tergugat. Seharusnya juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak berada pada keraguan untuk menunda segala bentuk pembolehan yang dimuat pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 576/Menhut-II/2014 atau dengan kata lain, menangguhkan hak-hak Tergugat yang termuat dalam Keputusan Menteri aquo. Bentuk kehati-hatian yang menjadi ratio legis substansi Surat Keputusan aquo seharusnya ditunjukan dengan mempertegas adanya penundaan keberlakuan. Tidak berada pada kegamangan hukum. Dengan kata lain, aktivitas pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan untuk sementara waktu harus ditunda sampai dengan upaya hukum Kasasi mempertegas status hukum keterpenuhan keabsahan terhadap kegiatan tersebut. Hal ini sesuai dengan asas “Lex certa, lex nulla, lex iniusta, lex retro non agit” demi kepastian hukum yang berkeadilan dengan berbasis pada pemenuhan dan perlindungan hak Masyarakat.