KONKEP, KARYASULTRA.ID-Mengenang almarhumah Hj Siti Marlina sang maestro Qoriah Tilawah Internasional dari bumi Wawonii memberi kebahagian dan kebanggan bagi generasi pulau Wawonii. Sampai saat ini prestasi gemilang yang diraihnya di zamannya belum satupun yang mampu menyamainya. Kisahnya yang termasyhur harus diulik kembali sebagai pengingat bahwa dahulu pernah ada wanita hebat dari tanah penuh berkah Wawonii. Prestasinya melantunkan Alquran kategori tilawah bukan hanya dipuji tingkatan nasional namun juga mengharumkan nama bangsa Indonesia tingkat Internasional. Dia meraih juara dua lomba Qoriah Tilawah di Malaysia tahun 1992.
Almarhumah Dra Hj Siti Marlina telah pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya di tahun 2012. Ibu tiga anak itu wafat di Kota Kendari. Jejaknya sebagai orang termasyhur kembali menggema setelah beredar Vidio lantunan ayat suci Alquran yang disebar ulang melalui rekaman pemilik YouTube Bang Dulll. Vidio latar kaset tertulis tebaik pertama MTQ Nasional Tahun 1991 melantunkan ayat suci Alquran surat Al-Isra ayat 1-10 tersebut disebar luas masyarakat Wawonii di media sosial.
Wartawan karyasultra.id menelusuri jejaknya hingga di desa kelahirannya. Siti Marlina lahir di Desa Tekonea tahun 1957. Dahulu desa ini sangat terpencil. Tidak ada akses jalan darat, untuk mengaksesnya harus naik kapal. Kini desa tersebut sudah dengan mudah ditempuh sejak pulau Wawonii menjadi kabupaten tahun 2013 yang dikenal Konawe Kepulauan (Konkep).
Rombongan karyasultra.id tiba di rumah orang tua Almarhumah, Minggu (14/3/2021) sore. Di rumah sederhana tersebut, Hj Hamidah ibunda Hj Siti Marlina sedang duduk menonton tayangan televisi. Anak kelimanya, Paharudin menemui tim karyasultra.
Paharudin bercerita tentang sosok kakaknya yang dia anggap sekaligus orang tuanya. Paharudin begitu diayomi, dikasihi sang kakak. Dari delapan bersaudara, mereka merasakan betul kasih sayang yang tulus dari almarhumah. Paharudin terhenti sejenak, air matanya berlinang mengenang kakaknya.
Baca Juga : https://www.karyasultra.id/mengenang-siti-marlina-qoriah-internasional-dari-wawonii/
Paharudin bercerita, mereka semua dibesarkan di rumah ini dalam suasana nilai-nilai keagamaan. Almarhum bapak H Muarif adalah guru mengaji di kampung ini. Jadi rumah ini rame terus.
Saat menceritakan sosok sang kakak, terdengar suara dari dalam rumah, ibunda menanyakan siapa yang datang? Hj Hamida yang berumur 90 tahunan berjalan bungkuk menemui kami. Satu persatu kami bergantian salaman. Diusianya yang hampir satu abad, ingatannya masih kuat, matanya masih melihat jelas bahkan masih bisa mengaji, pendengarannya belum terganggu. Hanya fisiknya yang lemah.
Hamida bercerita, dia melahirkan Hj Siti Marlina jam 7 pagi tepatnya tahun 1957. Dia sudah lupa tanggal dan bulan lahirnya anaknya. Dalam perjalanan saat-saat dibesarkan, Marlina kecil mulai melafalkan Alquran. Waktu kecil saat mulai bicara, Marlina kecil sudah melafalkan beberapa ayat Alquran. Saat sekolah di SD sini sudah kelihatan suara bagusnya saat mengaji dan menyanyi qasidah. Mungkin karena di rumah ini bapaknya mengajar orang-orang mengaji sehingga memberi pengaruh terhadap perkembangannya.
“Waktu kecil saat SD sudah bisa mengaji dan tuntun orang-orang mengaji. Waktu penaikan bendera (17 agustusan) selalu juara hafalan dan nyanyi qasidah,” kata Hj Hamida. Hamida lahir di Desa Ladianta dan suaminya H Muarif lahir di Desa Tekonea dan wafat tahun 2010.
Hj Hamida tak bisa bercerita lebih jauh karena dirundung sedih ketika mengingat-ingat anaknya. Paharudin melanjutkan kenangan bersama kakaknya. Paharudin sempat tinggal di Jogjakarta bersama kakaknya almarhumah selama setahun.
Bapak tujuh anak ini mengatakan, Marlina menempuh pendidikan di Pesantren Ummusabri. Sejak saat itu selalu tampil mengikuti lomba STQ maupun MTQ. Selalu juga juara satu dan dua. Bahkan pernah menjuarai tingkat nasional kategori remaja di Sulawesi Utara saat mewakili Sultra.
Saat menempuh pendidikan di IAIN Jogjakarta melalui program bantuan pendidikan dari Pemprov Sultra, dia juga ikut lomba mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Bahkan puncaknya tahun 1991 juara nasional mewakil DIY. Nanti tahun 1992 juara 2 Internasional di Malaysia kategori dewasa dalam MTQ Qoriah Tilawah. “Di rumah ini dahulu banyak kenang-kenangan berupa piala dan piagam lainnya namun sudah kusam dan diambil saudara lainnya di bawah ke rumah mereka,” ujarnya.
Suara merdunya diturunkan dari bapak. Sebenarnya kata Paharudin, dari delapan bersaudara suara paling merdu itu ada sama kakak perempuan keempat Suriamin. Hanya saja dia ini bisu, sehingga tidak sekolah.
Paharudin mengungkap sosok pribadi Hj Siti Marlina yang disiplin, sopan dan persaudaraan serta jiwa sosialnya yang tinggi. Kepeduliannya kepada orang lain sangat luar biasa. “Kami ini adik-adiknya diajar betul tentang kedisiplinan, sebab ini kunci keberhasilan dunia dan akhirat. Sholat itu hal paling utama tekankan, baik pada kami dan juga anak-anaknya,” terangnya.
Saat 2004 memutuskan pulang ke Kendari karena permintaan pak Gubernur Ali Mazi kala itu. Kakak diminta pindah dari Departemen Agama (Depag) di Jogjakarta pindah ke Depag Kendari. Tujuannya untuk melakukan pembinaan tilawah karena saat itu Sultra sedang menghadapi persiapan tuan rumah MTQ tingkat nasional tahun 2006. Saat di Depag DIY, kakak sudah menjadi dewan hakim nasional.
Paharudin S.Ag juga mengikuti jejak bapaknya mendirikan tempat pengajian di rumahnya Desa Tekonea. Jebolan sarjana agama IAIN Kendari ini mendidik 40 anak-anak. Ia berpesan kepada pemerintah untuk menggalakkan tempat pengajian di tiap desa-desa. “Kita mau semua desa di Konkep menggema tempat belajar mengaji. Ke depan juga harapan kita semua ada pesantren khusus penghafal alquran hafis-hafizah,” pintanya.
Paharudin mengingat kembali cita-citanya bersama Hj Siti Marlina ketika pensiun akan kembali ke kampung mengajar tilawah namun karena ajal lebih dulu memanggilnya.
Tetangga rumah Hj Hamidah di Desa Tekonea Kecamatan Wawonii Timur, Abdul Latif (70) tahun menceritakan kisahnya saat masih kecil bersama Hj Siti Marlina. Latif bercerita, ia tinggal dan dibesarkan oleh keluarga pak H Muarif. Latif belajar mengaji kepada pak H Muarif dan diajar juga oleh Siti Marlina. Padahal saat itu umur pak Latif sudah 11 tahun, sedangkan Marlina masih berumur 7 tahun.
“Saya mulai tinggal di rumah mereka saat mama saya meninggal dunia. Saya dibesarkan di keluarga Hj Siti Marlina. Seingat saya waktu kami masih kecil, almarhumah orang yang rajin. Bahkan menyukai makanan siput laut berupa Sipou (bahasa Wawonii). Ibu Marlina rajin membantu orang tua berkebun,” kisah bapak berusia 70 tahunan ini. “Almarhumah orangnya pintar dan ringan tangan membagi rezekinya,” kenangnya.
Laporan: Agam Jaya dan Ajad Sudrajad
Editor: Kalpin